Kamis, 24 Mei 2012

Move On

"Kalau kamu bisa bikin Astrini move on, aku acungin jempol banyaaaak banget buat kamu, Muk!" Kata Wahy pada Mukti seusai kami rapat KKN barusan. Perkataan itu muncul begitu saja ketika tiba-tiba obrolan mengenai cinlok (cinta lokasi) di KKN tiba-tiba dilancarkan. Tadi sore juga, dengan pelaku utama yang sama, saya di-bully di UFO dengan bahan sensitif yang kalau salah campur sedikit, bisa bikin saya pengen gigit-gigit; Move On.

Sebelumnya, jangan menaruh ekspektasi berlebih terhadap tulisan move on versi saya ini, karena mengingat keterbatasan ketrampilan berfikir dan menulis saya, tulisan ini tidak akan sesangar tulisan move on tingkat tinggi oleh Mas Awe beberapa hari yang lalu.

Entah sejak kapan kata-kata move on beserta teman sejawatnya yaitu galau, kepo, dan lain-lain ini mulai merebak hangat dikalangan masyarakat. Dalam perspektif saya, Move on bukan hanya urusan proses setelah putus hubungan. Lebih dari itu, Ia merupakan penghubung proses pembelajaran dan hasil akhirnya, ya kurang lebih seperti buku rapor. Selain itu, buat saya, move on tidak pernah semudah apa yang diterjemahkan www.translate-google.com sebagai "pindah". Like seriously, pindah? Sesederhana itu?

"Hayo ketahuan. Aku laporin polisi move on lho kamu, As!" Begitulah yang sering Decin ucapkan apabila dia memergoki saya memasang DP atau PM BBM yang nyerempet-nyerempet -yah-itulah-yang-identik-dengan-move on-saya. Yang dimaksud Decin dengan polisi move on diatas adalah seseorang yang dengan tegas akan mengomel, mengeluarkan kata-kata nyelekit, dan menampilkan ekspresi muka minta ditabok, yang tak lain dan tak bukan adalah Wahy. Ditelinga saya, kata-kata "polisi move on" hasil karya Decin tersebut terdengar konyol sekaligus menyeramkan sekali. Seolah-olah, tidak bisa move on merupakan sebuah tindak kriminal yang harus dicegah dan dimuarakan di sel untuk menanggulangi tindak kriminal selanjutnya. Ngomong-ngomong, saya bukannya bangga dengan labelling "tidak bisa move on" yang dilekatkan Wahy (dan Decin) di pundak saya. Mereka tidak tahu saja bahwa selama ini ((dari awal)(yang notabene sudah lebih-dari-16-bulan)) saya sekuat tenaga berusaha untuk move on, tapi ternyata usaha tersebut  lebih sulit dari merajut usaha blocknotes *malah*.

Semboyan lama yang mengatakan "luka cinta, obatnya cinta juga" memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Namun semoga saya benar, bahwasanya untuk move on, kita tidak perlu buru-buru mengganti (pasangan) yang lama dengan yang baru, karena tidakkah hal tersebut riskan menimbulkan kemungkinan "cuma pelarian?". Akan lebih baik apabila jeda antara melepas "yang lama" dan menemukan "yang baru" diilhami sebagai sebuah proses mendewasa, dimana seseorang bisa meresapi kesendirian dengan melakukan hal yang dirasa tidak memungkinkan ketika memiliki pasangan atau bertransformasi sesuai keinginan. Mengenai menjadi buruk atau baik, itu adalah pilihan, yang notabene adalah hak semua orang.

"Move on adalah sebagian dari iman. It's alright, Astrini!"
Derry Safrabbani 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar